Berumah tangga sejatinya adalah mengubah kata “aku” menjadi kata “kami” dan “kita”


Manusia sejatinya adalah mahluk individu dan mahluk sosial. Namun, jika dipikir-pikir, sebagian besar waktu manusia di atas dunia adalah tuntutan untuk menjadi manusia sosial. Dan yang kemudian membuatnya menjadi rumit adalah ketika kedua peran itu menjadi tumpang tindih, saling menarik saling menuntut maka konflik pun terjadi.

Naluri sebagai mahluk individu cenderung menjadi “racun” atau “pupuk” tergantung dari bagaimana dia ditempatkan. Terkadang keduanya bercampur dan sulit dikenali. Sebuah individu bisa menjadi racun sekaligus pupuk dalam sebuah hubungan sosial. Salah satu bentuk hubungan yang saya maksud disini adalah dalam ruah tangga.

Rumah tangga adalah masyarakat kecil yang punya struktur, aturan dan tata tertib dimana di dalamnya ada individu-individu dengan segala racun dan pupuk yang mereka bawa. Tokoh awal dan utama sampe terbentuknya rumah tangga itu adalah tokoh suami dan istri. Keduanya adalah titisan dari Adam dan Hawa yang terus mencoba saling menemukan dalam hakikat yang sesungguhnya. Sebagaimana kita ketahui. Adam dan Hawa “dilemparkan” ke bumi karena skenario pelanggaran

yang mereka lakukakan. Iblis sebagai pemeran antagonis menjalankan tugasnya untuk menggoda Adam agar melanggar sebuah larangan yang di mata awam kelihatan sepele. Memakan buah Khuldi. Butuh waktu 500 tahun bagi Adam dan Hawa untuk bertemu. Mereka harus melalui berbagai ujian dan rintangan, jatuh dan bangun, perjalanan yang luar biasa panjang hingga ditutup dengan thawaf sebanyak 7 kali di sekeliling tempat yang menjadi lokasi Ka’bah saat ini hanya untuk memperjuangkan sebuah penyatuan antara keduanya.

Runtutan kejadian di atas tentu saja adalah perlambangan-perlambangan dari banyak realitas yang jika dijabarkan akan menjadi makalah panjang dan diskusi siang malam oleh para ahli agar tidak terjadi salah penerjemahan. Itu bukan kita, anyway. Kita cukup membaca kitad diri kita dan belajar dari teladan-teladan yang sudah diciptakan Allah sejak bumi ini ada.

Intinya bagi saya, menikah adalah proses perjalanan merubah “aku” menjadi “kami” apalagi “kita” yang butuh perjuangan berat dan panjang. Banyak orang yang harus jatuh dan menyerah dalam proses thawafnya.  Mulai lelah karena racunnya menyebar lebih banyak daripada pupuknya. Bahkan mungkin racun itu sdh mengubah pupuk menjadi racun karena dia sudah tidak lagi berthawaf di titik yang semestinya karena enggan untuk melepaskan atribut-atribut ke-Aku-annya. Perlu diingat bahwa disaat melakukan thawaf itu, Adam tidak memakai pakaian apapun yang kemudian menjadi cikal bakal kenapa pada saat menjalankan salah satu prosesi haji ini, para jamaah hanya boleh memakai pakaian putih (ihram) yang tidak dijahit. Kain putih yang sama dengan kafan yang dipakai saat manusia sudah dibungkus sebagai mayat.  

Jadi, tanpa berkesimpulan, saya kemudian menyadari bahwa untuk bisa melebur dalam sebuah ikatan rumah tangga yang sehat, adalah dengan belajar menjadi “mayat”.

Anyway, silahkan memikirkan dan mencerna. 


Rabi'ah El Rumi
_20/09/20_

Komentar

Postingan Populer