My Story to MIB
Mereka Bilang Aku
Kecil
Hidup ini harus memiliki tujuan,
harus memiliki mimpi. Disaat seseorang bermimpi ia bagaikan sedang merencanakan
sebuah skenario yang akan ia jalani. Mimpi-mimpi itulah yang akan menjadi
penuntun kemana harus menuju dengan kedua kaki ini. Mimpi-mimpi itu akan
membuat kita terus bergerak dan terus bergairah menjalani hidup, dengan mimpi
kita dapat menatap hari esok dengan penuh harapan, tak kenal lelah dan selalu
berjuang untuk menggapainya. Kata-kata itulah yang aku coba hidupkan dalan jiwaku, kata-kata itu
yang membuatku untuk berani bermimpi, yahh kata-kata penuh makna yang pernah
aku baca dari sebuah buku yang ditulis oleh seseorang yang sangat inspirasional
bagiku.
Aku ingin hidup dengan mimpi
bukannya hidup dalam mimpi, aku pun berusaha meniti jalan yang ditakdirkan
Tuhan untukku, menikmati proses demi proses yang akan membuatku lebih matang.
Karena aku yakin, aku akan memetik buah yang telah aku tanam hari ini. Seperti halnya
firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Najm (53)
: 39 “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya”.
Tetapi apa jadinya ketika fisikmu
tidak memenuhi syarat untuk meraih mimpimu, mimpi yang juga diinginkan
keluargamu. Aku masih ingat kata demi kata, kalimat demi kalimat yang mereka
lontarkan. “Hi ade’ kecil”, “Sudah jaki’ minum susu baru ke sekolah”,
“Si kecil namanya itu”, “Masih SMP yaa?”. Bahkan sampai sekarang, saat aku
telah menjadi seorang mahasiswi kata-kata itu masih terngiang di telingaku,
bahkan salah seorang diantara mereka memanggilku di depan umum dengan panggilan
“Pendek!”. Ternyata saat di
universitas kata-katanya tidak jauh lebih pedas. Ada juga seorang senior ketika
melihatku langsung berkata dengan wajah masamnya “Hmm kamu pasti peralihan ya dari fakultas keguruan, ga’ diterima
karena tinggi badannya ga’ memenuhi syarat”. Iyya memang itulah yang
terjadi padaku. Tahun 2011 silam, aku
dinyatakan lulus di jurusan Pendidikan
Bahasa Inggris di salah satu universitas negeri di kotaku melalui jalur SNMPTN,
jalur yang aku bangga-banggakan karena tidak ada namanya sogok-menyogok atau
apalah yang dilakukan orang-orang. Bahagia, pasti karena bisa lulus di jurusan
yang akan menuntunku meraih mimpiku yaitu menjadi seorang guru, guru yang
profesional. Setelah mendapat pengumuman tersebut aku meminta tanteku menemaniku
untuk mendaftar ulang, disana berbagai prosedur aku jalani termasuk cek
kesehatan. Dan di kesehatan itulah aku terjatuh, aku tidak memenuhi syarat
untuk menjadi mahasiswi di fakultas keguruan karena tinggi badanku kurang
beberapa sentimeter dari tinggi badan yang telah disyaratkan. Aku sempat
bertanya saat itu, kenapa harus ada syarat seperti ini. Pihak di sana hanya
memberikanku sedikit pendeskripsian “Mungkin
karena ditakutkan siswanya lebih tinggi dari gurunya dan akan membuat siswa
tidak menghormati gurunya”. Setelah mendengar pendeskribsian tersebut
beribu tanda tanya sempat menyesakkan dadaku “Apakah seseorang dihormati kerena tinggi badannya?”, Apakah seseorang
akan dihargai karena tinggi badannya?”, “Apakah seseorang dikatakan berwibawa
ketika Ia memiliki tinggi badan yang proporsional?”. Berselang beberapa
saat kemudian pihak universitas melanjutkan penjelasannya “Tetapi tenang saja, Ade’ tetap diterima di universitas ini tetapi
harus dialihkan kejurusan non-pendidikan yang tidak mensyaratkan tinggi badan”.
Aku pun menerima untuk dialihkan di jurusan non-pendidikan walau awalnya
orangtuaku sempat bersikeras untuk mencari jalan agar aku bisa diterima di
jurusan pendidikan tersebut. Tetapi hanya jalan buntu yang aku dapati, orangtua
pun sempat memintaku untuk tidak melanjutkan pendidikan di universitas
tersebut, hal itulah yang membuatku meneteskan air mata. Karena pikirku, kalau
bukan disini lalu dimana lagi, aku sudah lulus di sini dan tidak mungkin aku
melepaskannya. Mengingat begitu sulit dan ketatnya seleksi masuk perguruan
tinggi. Lagi pula kalau aku melepaskannya, apakah ada universitas yang tidak
mensyaratkan tinggi badan, pasti aku akan terjatuh lagi pada lobang yang sama.
Ohh lagi-lagi karena tinggi badan.
Seiring berjalannya waktu,
seperti mahasiswa pada umumnya. Aku mengikuti proses belajar mengajar,
berkenalan dengan teman-teman baru yang berasal dari berbagai daerah dan dari jurusan
yang berbeda pula. Suatu hari aku kembali tercengang, ketika aku mengenal
seorang gadis dari jurusan kesehatan. Aku bertanya kepadanya setelah dia
mengetahui kisahku yang tidak diterima di pendidikan “Hmm bukankah di kesehatan juga ada syarat tentang tinggi badan,
kayaknya kita beda tipis deh”, diiringi dengan candaku. Dia pun menjawab “Ia sebenarnya tinggiku juga tidak memenuhi
tetapi aku punya Om yang bisa mengurusnya”. Waw sungguh mencengangkan, ternyata
praktek semacam itu juga terjadi di kampus. Kampus adalah tempat yang awalnya
aku pikir bersih dari hal-hal seperti itu. Tetapi ternyata tidak. Bahkan ini
bukan yang pertama kalinya aku mengenal seseorang dengan kisah yang sama,
sebelumnya teman SMA ku memperkenalkan teman sejurusannya. Ia juga tidak
memenuhi standar masuk pendidikan tetapi karena Ayahnya yang sangat berpengaruh
maka mudah saja baginya masuk di jurusan tersebut. Tidak seperti aku yang hanya
menemui jalan buntu, mereka yang memiliki kekuasaan bisa saja mengubah
segalanya. Semudah membalikkan telapak tangan.
Tetapi sudahlah, itu bukan
rejekiku. Aku yakin inilah skenario terbaik yang digariskan Tuhan untukku. Kalau
memang aku tidak bisa menjadi guru lalu kenapa tidak menjadi dosen, itulah statement yang aku pakai sekarang. Disaat
guru menolak kehadiranku karena tinggi badan maka dosenlah yang menjadi
harapanku, menjadi mimpiku. Bahkan terkadang aku kagum dengan skenario Tuhan
untukku, aku memang tidak berada di jurusan pendidikan tetapi sekarang aku
berada di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Jurusan yang menurutku sesuai
dengan jiwaku, aku suka dengan sastra, suka menulis puisi, cerita ataupun drama.
Tuhan inikah jalanmu?
Segala sesuatu yang terjadi di
dunia ini tergantung bagaimana kita memandangnya, aku mencoba berpikir positif
dengan segala hal yang menghampiriku. Tidak peduli apa kata orang, ku tetap
melangkah meniti proses hidup ini. Karena aku yakin dengan kalimat yang selama
ini aku pegang yaitu to be Succeed, sometimes we have be the deaf
and the blind one. Memang tidak mungkin untuk cuek sepenuhnya tetapi untuk
terlalu memedulikannya juga bukan pilihan yang tepat. Aku tidak mau terjebak
ataupun terpenjara dengan komentar-komentar, perasaan galau atau segala hal
yang akan membuatku lupa akan tujuan hidupku yang sebenarnya.
Sekarang yang harus kulakukan
hanyalah fokus untuk menggapai sebuah pencapain. Segala usaha pun aku
lakukan. Alhamdulillah di awal semester
dua lalu, salah satu lembaga pendidikan menjadikanku pengajar dalam sebuah even perkampungan bahasa inggris. Dan di
akhir semester dua, aku kembali dipanggil menjadi pengajar pada sebuah even yang pesertanya berasal dari
berbagai wilayah di Indonesia Timur. Di even
tersebut, pesertanya ada yang masih SMP, SMA, Mahasiswa dan ada yang berprofesi
sebagai guru. Salah satu hal yang membuatku bangga adalah aku yang masih
semester dua telah mengajar mahasiswa semester enam dan lebihnya lagi aku
mengajar seorang guru. Mereka menghargaiku sebagai pengajarnya, bahkan
pesertaku yang berprofesi sebagai guru sempat mengacungkan jempolnya untukku
dan berkata, “Bagus Miss, You are
professional in teaching”. Subhanallah
makasih ya Allah, Kau membuatku membuktikan bahwa tubuh kecil ini mampu
mengajar, mampu melakukan hal-hal tersebut.
Aku bangga pada diriku. Aku mampu
melebihi mereka yang memiliki tubuh yang tinggi, saat ku berbicara mereka lebih
mendengarkanku dari pada mereka yang bertubuh tinggi. Mereka seringkali meminta
pendapatku dari pada meminta pendapat mereka yang bertubuh tinggi. Aku bahagia
saat mereka yang dulu berkata bahwa aku kecil sekarang berkata “Kecil-kecil cabe rawit”.
_AA_
Komentar
Posting Komentar