Secangkir Kopi Susu
Secangkir Kopi
Susu
“When I close my
eyes in the night, it doesn’t mean I don’t wanna see the beautiful night. But I’d
like to make myself be ready to face tomorrow.
When I decide to
go around (the other countries), it doesn’t mean I don’t love my Indonesia. But
I’d like to look out from my window to make my home more beautiful”
Matahari tersenyum girang. Langit cerah.
Rerumputan bergoyang, seakan memproklamirkan kebebasannya dari titik-titik air
yang selama ini mengguyur. Aspal pun kembali menorehkan kegagahannya, tak ada
lagi genangan air di pundak hitam bergaris putih itu. Landasan terbang Bandara
Sultan Hasanuddin seakan tak mau kalah, ia tetap saja memesona diterpa sinar
matahari. Aku melihat jam tanganku. Jam dua siang. Kupejamkan mataku sambil
menghela nafas dalam-dalam. Dua jam lagi aku akan masuk pesawat dan
menerbangkanku menggapai salah satu mimpi menginjakkan kaki di negeri tetangga
Malaysia, lalu merangkak menuju Singapura. Kubuka mataku dengan pancaran
kebahagian. Sekilas kulihat wajah teman-temanku yang mengguratkan garis yang
sama. Kutemukan binar-binar kebahagiaan disana.
Sinar matahari di langit Makassar tetap
saja tersenyum. Kami tenggelam akan
asyiknya percakapan di ruang tunggu bertaraf
internasional. Percakapan yang terjalin baik sesama orang Indonesia sampai
percakapan dengan dua gadis berdarah Finlandia. Beberapa saat kemudian, terdengar
panggilan untuk penumpang AirAsia agar segera naik pesawat. Kupandangi
teman-temanku yang terlihat tidak menghiraukan suara cantik tanpa wujud itu. Kupikir
suara itu bukan untuk kami. Kucoba untuk tidak menghiraukannya juga. Tetapi
suara itu mengusik lagi dan lagi. Gerah akan usikan itu membuatku bertanya pada
seorang laki-laki paruh baya yang seakan bersiap-siap meninggalkan tempat duduknya,
“Excuse me, where will you go?”
Ia menoleh dan menjawab dengan sangat
singkat, “KL.”
“Ohh
yes thank you.” Jawabku.
Kuhampiri teman-temanku. Memberitahunya bahwa
sudah waktunya untuk naik pesawat. Seakan menjadi penyambung lidah suara tanpa
wujud itu.
Kami beranjak dan melewati garis
antrian. Satu persatu menuju pintu pesawat. Ketika aku sampai di tempat dudukku
11B, aku memohon keselamatan dan kelancaran dalam perjalanan.
Beberapa saat kemudian pintu pesawat
ditutup. Pesawat bergerak menuju landasan. Pelan, sangat pelan. Saat beberapa
dari kami merasa tegang. Salah seorang teman tiba-tiba angkat suara, “Kapan
sampainya, kalau pesawat selambat ini”. Kalimat luguh itu sentak mengundang
tawa dan berhasil memecah ketegangan.
Kembali terdengar suara tanpa wujud.
Tetapi kali ini suara cantik itu beraksen melayu. Ia meminta agar handpone
dimatikan dan sabuk pengaman dikenakan. Kumenatap ke luar. Kami semakin jauh
meninggalkan bandara dan sebentar lagi mengangkasa, meninggalkan tanah air
Indonesia.
***
Pesawat berhasil mengangkasa. Sesekali pesawat
goyang. Tetapi ia terus melesat menerobos awan Indonesia menuju awan Malaysia. Seperti
ingatanku yang tiba-tiba melesat pada setiap detik proses persiapan English for Tourism. Jalan kami
mewujudkan tour kali itu memang tak
seperti karpet merah. Ia hanya aspal hitam dengan sedikit coretan tinta putih. Aspal
yang tak selicin keramik. Tak juga selembut karpet bludru. Ada banyak kerikil
disana. Kerikil yang bagaikan kekasih setia menemani perjalanan nan panjang.
Kekasih yang tak jarang melukai raga dan membuat jiwa merintih kesakitan.
Teringat fase-fase awal persiapan tour. Kami melakukan berbagai upaya
untuk mengumpulkan pundi-pundi uang. Menyisihkan uang bulanan. Mengirim
proposal kemana-mana. Bahkan jual-jualan dari kampus sampai Pantai Losari pun
kami lakukan.
Jual-jualan memang menjadi terapi
penguji mental saat itu. Bertemu dengan banyak orang dengan watak yang berbeda.
Kadang ada yang menyemangati dan salut dengan upaya kami. Tetapi tidak kurang
juga yang mematahkan semangat. Bahkan masih terngiang kata demi kata yang ia
lontarkan. Dengan wajah mengejeknya ia berkata, “Penggalangan dana apa lagi
ini?”
“English for Tourism kak?” Jawabku.
“Rencana mau kemana?” Seakan
mengintrogasi.
“Rencana Insya Allah ke Australia.”
Australia memang pernah menjadi negara
yang ingin kami kunjungi. Tetapi karena beberapa alasan maka kamipun banting
stir memilih dua negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura. Bahkan kami juga
pernah mengajukan proposal dengan destinasi Jepang. Menurutku tidak ada
salahnya bermimpi dan bercita-cita tinggi. Karena hidup memang harus punya
mimpi kan? Hidup harus dengan mimpi. Bukan hidup dalam mimpi.
“Tidak usah penggalangan dana lagi, itu
tour tidak akan pernah ada” lanjutnya.
Aku menggerutu dalam hati. “Kalau tidak
mau beli ya sudahlah. Kami tidak butuh kalimatmu yang seakan-akan mendahului
Tuhan. You are not God who can determine
who I am or how my life is in the future.”
“Insya Allah, akan terwujud.” Jawabku
seadanya dan berlalu meninggalkannya. Tidak kuhiraukan kata-kata yang kudengar
kala itu. Cause sometimes we had to be
the blind and the dief one to be successful. Tidak juga kuberadu debat
dengannya. Cause I had no time to debate
them. I just wanted to prove that I can cause I think hence I can.
Itu hanya sebongkah kerikil kecil tak
bermakna. Kerikil yang benar-benar kerikil yaitu kerikil internal. Kerikil yang
telah diakui dikancah dosen dan sejajarannya. Kerikil untuk menyatukan BSI angkatan
2011. Memang susah menyatukan angkatan yang terdiri dari tiga kelas itu. Seakan
ada tembok besar yang menghalangi mereka. Bahkan tema pentas pekan sastra yang
dihelad sebulan sebelum tour diadaptasi
dari adanya sekat diantara mereka. Temanya BLACK.
Menceritakan kaum berkulit hitam dan berkulit putih yang tidak bisa berjalan beriringan.
Tetapi sekeras-kerasnya karang akan hancur juga oleh ombak. Sebesar-besarnya
tembok diantara mereka, akhirnya runtuh juga. Dan satu kenyataan yang kudapati.
Saat hitam dan putih menyatuh akan lebih nikmat dalam secangkir kopi susu.J
Tetapi masih saja ada hembusan kata-kata
miris yang seakan ingin terus memperkuat bahwa kami BSI 2011 tak ayal bagaikan
pecahan kaca yang berserakan di lantai. Hal itu mungkin berhembus karena English for Tourism angkatan 2011
memiliki tiga destinasi. Ada yang ke lokal (Bulukumba), ada yang ke domestik
(Bali) dan ada juga yang ke internasional (Malaysia dan Singapura). Tetapi itu
adalah kata-kata yang keluar dari bibir yang tidak tahu seluk-beluk sejarah
kami. Kami memilih jalan kami masing-masing. Mencoba mengukir sejarah hidup
kami. Cause for me, everbody has
different way. But it doesn’t mean we’re seperated by that’s way. Cause I
believe that all of us want to get the good thing as our goal.
We
do what we wanna do. Be what we wanna be. Walk on your own way and I walk in my
own way. It cannot be denied that sometimes you will go to the left side and I
will go to the right side. And finally we will have time to meet in the same
side to share our own story.
Apapun yang terjadi itu merupakan warna
perjalanan kami. Warna yang telah membuat mereka yang dulu mengingkari kami,
sekarang menoleh memandangi indahnya warna yang tercipta dari sebuah
perjuangan.
Suara pramugari mengembalikanku dari
lamunan flashback akan proses yang
akhirnya membuatku duduk di kursi pesawat. Suara cantik itu mengumumkan agar
seluruh penumpang kembali ke tempat duduknya dan mengenakan sabuk pengaman.
Sebentar lagi pesawat akan landing.
Seorang teman yang sedari tadi tidak pernah diam, mondar-mandir, bahkan
terkadang berjoget riang di pesawat akhirnya diam juga. Rahmat terbesar bagi
kami yaitu saat dia bisa diam. J
Pesawat terus menurunkan ketinggiannya.
Semakin lama semakin mendekati bumi dan akhirnya mendarat di Kuala Lumpur
International Airport. Satu kalimat yang kuingat dari teman disampingku saat
pesawat turun dengan suara yang menderu. Ia berkata, “Saya kira itu
petir.” Spontan saja senyum tersungging
indah di bibirku kala itu.
Penumpang mulai bergegas turun. Termasuk
aku. “Finally, here we are.” Kataku.
Kami keluar dari pesawat dan melangkah menuju pengecekan nyawa. Maksudnya
paspor. Paspor yang menjadi nyawa kami di negara orang. Paspor hilang, nyawa
mungkin melayang. Sedikit lebay, tetapi memang begitu penting paspor daripada
bawaan lainnya. Setelah beberapa saat hanya dihantui kata lolos atau tidak dan
akhirnya lolos juga. Kamipun mengikuti dua guide
yang selalu sabar dengan tingkah dan kekonyolan kami. Mereka kak Sultan dan
kak Agung. Kalau disambung Sultan Agung. Mereka mengarahkan kami menuju bus yang
menanti di parkiran seberang jalan. Bus yang dikendalikan oleh seorang
keturunan India yang lahir, besar dan berkeluarga di Malaysia. Bang Kanan
namanya. Dialah yang setia membawa kami mengelilingi negeri Harimau Malaya dan
negeri Singa.
Setelah semua koper dan barang bawaan
dimasukkan ke bagasi. Dan juga rombongan tour
telah mendapatkan kursi kenyamanannya masing-masing. Bus yang dirancang cantik
dan nyaman itu bergerak meninggalkan bandara. Bang Kanan terus memacu mobilnya
hingga memasuki kawasan Rehat dan Rawat. Di tempat itu kami berhenti sejenak.
Mengisi kampung tengah yang sedari tadi turun orasi.
“Makan. Makan. Makan.” Teriaknya
Setelah memenuhi tuntutan kampung tengah.
Orasi yang tadinya hampir anarkistis, akhirnya berhenti juga. Walau sebenarnya
ia masih minta diisi lagi. Tetapi tenggorokan sudah menolak menelan makanan
yang tidak sesuai dengan lidahku. Sebenarnya dari suapan pertama alat perasaku
sudah menolak. Tetapi kalau tidak makan, siap-siap saja melihat cacing
kelaparan kembali berorasi. Jadi paksakan diri sajalah.
Kami melanjutkan perjalan menuju hotel. Bus
terus melaju tanpa tersendat macet. Aku menyaksikan di kanan dan kiri jalan
gedung-gedung menjulang tinggi. Memamerkan kegagahan negaranya. Gedung yang
tertata rapi nan megah. Diatas gedung terlihat bulan sabit bergelantung dengan
senyum ramah. Seakan mengucapkan selamat datang padaku. Terdengar pula suara
merdu Taylor Swift melantunkan lagunya We
Are Never Ever Getting Back dari speaker bus. Sesekali teman-teman ikut beryanyi,
seakan sedang featuring dengan
penyanyi intenasional itu. Bus terus berjalan memasuki kawasan Raja Laut Street.
Tidak terlihat lagi flyover yang ada
di sepanjang jalan tadi. Dan berhenti tepat di depan gedung tinggi dengan
ornamen China dibagian depan.
“Ya ini Puteri Park Hotel, kita akan
bermalam disini.” Kata kak Sultan
Kami bergegas turun. Mengambil koper dan
kunci kamar. Aku tidak banyak tanya ketika mendapatkan kunci yang serupa kartu
ATM. Sudah pernah baca pengalaman kakak-kakak di buku ceritanya Penjelajah
Negeri jadi sudah tahu harus kuapakan kartu itu.
Terlebih lagi, aku sekamar dengan kakak yang sudah berpengalaman touring. Bahkan dia sudah sampai di
China. Jadi kalau ada sesuatu, kami langsung bertanya padanya. Iya, dia kak
Angra. Semoga bisa seperti dia ya. Aamiin. J
Malam semakin larut. Aku dan teman kamarku
tidak langsung tidur. Kami keluar sebentar. Menikmati udara malam. Sekalian
beli makanan, maklum perut masih kelaparan. Setelah itu kami kembali ke kamar
hotel. Ada yang langsung tidur, ada yang nonton film India dengan subtible melayu dan ada juga yang menikmati
mie di malam hari.
***
Dingin
bergerak menyelimuti tubuhku. Sedikit demi sedikit melumpuhkan indra dan
logikaku. Tidak ada yang kumau selain berbaring di tempat tidur. Seakan lupa
akan semua agenda yang harus kulakukan. Nyenyak dan terus nyenyak. Hingga
kutersesat di alam bawa sadarku.
“Tek
tok. Tek tok. Tek tok. Tek tok.” Bel berbunyi
Tiba-tiba
kuterusik dengan suara bel yang sepertinya terus ditekan oleh tangan tak sabar
diluar sana. “Siapa yang berani mengusik tidur nyenyakku?” Gumamku dalam hati.
Kubangunkan
temanku, “Ay, bunyi bel. Ada orang.” Sambil menarik selimut.
Pintu
terbuka. Dua sosok gadis bermukenah langsung nyosor masuk dan membuat
kebisingan. Mereka ke kamar untuk membangunkanku. Tidak. Bukan itu tujuan
intinya. Mereka menginginkan switch dan
merebut mie gelas yang tidak sempat kumakan semalam.
Ketika
mereka kembali ke habitatnya. Aku masih saja asyik bergulat dengan selimut
putih tanpa noda. Kulihat teman kamarku dalam rabun mata kantuk. Ia sedang
bersiap-siap memunajatkan hatinya pada sang Khalik. Aku tersentak. Sadar.
Ternyata sudah subuh. Aku bergegas menuju kamar mandi. Mencoba mengusir
kantukku dengan guyuran air hangat.
Setelah
kutatap wajahku dalam pantulan cermin kamar mandi dan tak lagi kutemukan gurat
mata kantuk, ku putar pintu kamar mandi dan keluar ketika sudah cukup lebar
terbuka. Kudapati temanku kembali merebahkan badannya diatas kasur. Ketika aku menghampirinya
tiba-tiba adzan subuh berkumandang.
“Ay sudah shalat?” Tanyaku.
“Iyya sudah.” Jawabnya
“Itu adzan baru bunyi”
Kulihat jam di Hpku. Jam enam lewat
sepuluh. Kupasang muka heran. Kenapa baru adzan? Kubuka jendela kamar dan
menatap luas. Aspal, tanah, gedung-gedung masih saja diselimuti sihir malam.
Matahari terlambat menyapa Malaysia di waktu pagi. Mungkin karena harus menyapa
Indonesia terlebih dahulu. Pikirku luguh.
Setelah berotasi cukup lama, akhirnya
matahari pertama di negeri Jiran muncul menyapa kami. Senyum sapa matahari juga
menandakan hari dimana kami akan menjelajahi negeri Jiran Malaysia. Dan
Universiti Putra Malaysia menjadi penjelajahan pertama kami.
Tak kulewatkan kesempatan untuk menggali
informasi dan mencoba menemukan sesuatu yang baru dari orang-orang ramah di
kampus bersih itu. Disana kudapati
orang-orang menggunakan bahasa internasional tanpa meninggalkan aksen mereka
sendiri. Ada yang berbahasa Inggris dengan aksen melayu, ada dengan aksen
punjabi, china dan juga perancis. In that
time I relized that accent was our identity. Mereka menyambut kami dengan
ramah. Dan bukan hanya santapan nikmat yang kudapati disana tetapi sempat juga
mencicipi dapur rekaman dan siaran di radio universitas itu.
Setelah mengelilingi kampus. Kamipun melanjutkan
perjalanan menuju Kedutaan Besar Republik Indonesia. Sekian banyak kalimat yang
mengalir deras melewati gendang telingaku saat berbincang-bincang disana. Ada
kalimat yang aku underlined kala itu.
“Ketika Indonesia masih bergulat dengan rencana-rencana pembangunannya.
Negara-negara tetangga lebih dulu merealisasikannya.” Jadi bukan karena
Indonesia tidak cukup memiliki ide-ide cemerlang tetapi terkadang ada
oknum-oknum yang begitu pandai bersyair tanpa bukti fisik yang sedap dipandang
mata.
Terlepas dari kedutaan. Tersisa dua
perjalanan yang seakan membayar rasa haus yang telah menggerogoti tenggorokan.
Perjalanan pertama berhasil membayar dahaga akan hunting foto. Sepanjang sore kami habiskan di dekat gedung kembar
tertinggi di dunia.
Teman-teman bagai kapas yang bertebaran
mencari lokasi pemotretan terindah. “Foto dulue!” Teriak mereka satu sama lain.
Tak ada yang ingin melewatkan kesempatan untuk mengabadikan wujudnya bersanding
dengan ikon negara Malaysia. Seakan tak kenal lelah dan puas berpose manis
depan kamera. Dan tak juga kehabisan gaya walau sebelumnya telah mengabadikan
gambarnya di depan Istana Negara. Mereka dan mungkin termasuk aku tak ayalnya
model profesional yang pandai menyembunyikan lelah dibalik senyum manis nan
lugu.
Dahaga shoping juga akhirnya terbayar ketika kami berada di Sungei Wang. Dikatakan
Sungei Wang karena diyakini oleh masyarakat setempat sebagai tempat dimana uang
mengalir. Akupun setuju dengan keyakinan mereka karena disanalah aku merasakan
uangku selembar demi selembar mengalir ke tangan penjual. Tetapi untungnya aku punya
bekal tawar menawar jadi aku bisa mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah.
“Deh sakitnya hatiku Na. Kau dapat 15
ringgit 2 terus saya cuma 1” sergah temanku.
“Hhaha, sabar bu’. Makanya jangan
terburu-buru” jawabku.
Gelap semakin merajalela. Mencoba merayu
kota untuk terjun dalam lembah kegelapan. Tetapi kehadiran cahaya lampu mampu
menyihir negeri Jiran dalam pesona keindahan. Kami yang tadinya bertebaran
menghanyutkan lembaran ringgit juga kembali berkumpul di bus untuk melanjutkan
perjalanan menuju Singapura.
Perjalanan yang cukup panjang nan sunyi.
Kebanyakan dari kami tertidur pulas. Mencoba mengisi kembali energi yang
terkuras seharian. Kerlap-kerlip bintang yang bergelantungan dan keindahan
bangunan disepanjang jalan tak mampu meluluhkan malaikat tidur yang sedaritadi
merayu dua bola bulat di wajah tuk tertutup.
Bus terus melaju. Semakin menjauhi
Malaysia dan menembus jalan Singapura. Tetapi sebelum lebih jauh menapaki
Singapura, kami harus menembus imigrasi terlebih dahulu. Satu persatu berhasil
menembus petugas imigrasi. Kecuali seorang teman yang tersandung kasus barang
terlarang (sabu-sabu). Ia dicurigai menyeludupkan barang terlarang karena
ditemukan bungkusan serbuk putih di tas ranselnya. Serbuk itu konon merupakan
obat sakit gigi tradisional dari kampung halamannya. Tetapi apapun alasannya,
semua harus diproses lebih lanjut. Selain skandal serbuk yang sedang diuji dan
menyita banyak waktu, ia juga harus menjelaskan satu persatu obat-obatan yang
dibawa dari Indonesia. Kantongan obat-obatan itu seharusnya aku yang bawa. Tetapi
karena aku kerepotan dengan koper bawaan maka kutitipkan kantongan itu padanya.
Dan jadilah beberapa jam hangus di imigrasi.
Kebenaran pasti terungkap. Setelah
diproses beberapa jam dan tak terbukti sebagai penyeludup barang terlarang. Iapun
langsung menuju National University of Singapore (NUS) tempat dimana kami
berada. Kami memang terpaksa meninggalkannya dengan seorang guide di kantor imigrasi karena jadwal
di NUS tidak bisa dicancel. Tetapi aku yakin, kesulitan yang ia dapat di
imigrasi sirna ketika ia menginjakkan kaki disalah satu universitas terbaik di
dunia.
“Wah ini gedung kampus atau kantor kah?”
Sahut seorang teman.
Aku tak banyak bicara atau merespon
kekaguman teman-temanku. Karena sedari tadi aku telah terjerumus pada lembah
kekaguman. Aku diam dalam pesona negara Singa yang taat akan aturannya. Negara yang
bersih nan aman. Tak terlihat sampah disepanjang jalan. Jejeran gedung dengan
sentuhan arsitek modern semakin mengukuhkan keindahan kota. Hingga ketakjubanku
membuncah ketika memasuki perpustakaan NUS. Tetapi siapa sangka koleksi buku
yang ada di perpustakaan bergengsi itu kebanyakan berasal dari Indonesia.
Indonesia menempati presentase terbesar sebagai pengimpor buku untuk
perpustakaan mereka.
Aku tak hentinya terpesona hingga akhirnya
kami meninggalkan kampus tersebut dan melanjutkan penjelajahan di tanah
Singapura. Disana ada banyak tempat kunjungan yang kami tapaki. Seperti Sentosa
Island, Merlion Park, China Town dan Mustafa.
Setiap tempat yang kami kunjungi memberi
warna tersendiri untukku. Seperti ketika kami berada di Sentosa Island. Sebelum
menikmati indahnya pertunjukan Song of The Sea, ada kejadian yang membuat salah
satu dosen mengeluarkan jurus terpendamnya guna menyembuhkan seorang teman yang
kesurupan. Upss sorry, actually it’s a
secret. J
Dan cerita lainnya juga terukir ketika
kami berada di China Town dan Mustafa. Disana aku betul-betul merasa dikejar
oleh waktu. Aku dan beberapa temanku sibuk mencari Money Changer. Bertanya
kesana kemari. Mengelilingi beberapa gedung. Menyeberang jalan dengan jembatan
penyeberangan dan akhirrnya kami menemukannya. Tetapi apesnya, kami tidak tahu
cara untuk kembali ke parkiran bus.
“Kalau jalan yang tadi mau dilewati
pulang, terlalu jauh pasti. Terus maumi habis waktu ini.” Kata temanku dalam
kegelisahaan.
“Emm kayak Sentralji kayaknya ini. Baku
tembus-tembusji. Jadi lewat sini maki’ saja.” Jawabku mengarahkan.
Alhamdulillah perkiraanku berhasil.
Setelah melewati jejeran gedung. Belok
kanan belok kiri. Akhirnya kami melihat bus yang akan kembali mengantar kami
menuju Mustafa.
Di Mustafa sifat jahilku kembali muncul.
Ketika waktu berbelanja habis, satu persatu kembali ke tempat duduknya. Tetapi
ada dua orang teman yang tak kunjung datang. Kami menunggu dan menunggu tetapi batang
hidung mereka tak juga terlihat. Saat-saat menunggu itulah, aku melihat
dompetku yang menyisahkan selembar uang dollar. Aku pikir aku harus
menghabiskannya di tempat itu karena tempat itu merupakan tempat terakhir yang
kami kunjungi di Singapura sebelum kembali ke Malaysia. Aku harus turun bus dan
berlari ke seberang jalan tuk membelanjakan uangku tetapi pasti tidak
diijinkan. Dan satu-satunya cara yaitu menawarkan diri untuk mencari dua orang
teman yang belum datang.
“Kak biarmi saya yang pergi cari’i.”
Teriakku dari kursi belakang.
Aku terus berlari hingga memasuki toko
barang-barang antik. Dan ternyata seorang teman mengikutiku. Ia mengikutiku
karena ia pikir aku ingin pergi buang air kecil. Sedikit lucu sih, tetapi tak
terlalu kuhiraukan. Aku dengan lincah memilih barang-barang yang akan aku
bayar. Dan kembali berlari menuju bus setelah menunggu beberapa menit di cross roads tuk menyeberang jalan. Aku
dan temanku kembali duduk di kursi kami masing-masing dengan nafas yang masih
tersengal-sengal. Dan yang paling kusyukuri, aku datang lebih awal daripada dua
teman yang ditunggu tadi.
Ketika penumpang bus telah lengkap. Kami
kembali mendapat perjalanan panjang menuju negeri Jiran Malaysia. Tidak seperti
perjalanan panjang sebelumnya yang sunyi. Perjalanan pulang saat itu begitu
riuh dengan hadirnya acara Touring in Love. Di acara tersebut beberapa kisah cinta terungkap secara
gamblang.
Ada dua pasangan romantis yang sempat
membuat iri. Tetapi ada juga seorang teman hadir dengan statement
mengesankannya. Ia berkata “Kalau mau dapat jodoh yang baik tidak usah
pacaran.”
Wah baru kali itu ada kalimat bermakna
yang keluar dari mulutnya. “Hehe peace. Semoga istiqamah Bro.”
Sepanjang perjalanan diisi dengan cerita
bertemakan romantisme. Dan hal itu sempat berlanjut dengan dua teman kamarku
ketika kami telah tiba di hotel. We told
about something what happened in the bus. And sometimes sharing our opinion
about that or Kak Angra gave us advice about love and future. J
Perbincangan kami berlanjut hingga larut
malam. Semakin larut malam, kami juga semakin larut dalam perbincangan yang
terkadang melenceng dari tema awal. Asyiknya perbincangan membuat kami hampir lupa
berbenah untuk kembali ke tanah air besok pagi. Seakan lupa bahwa malam itu
telah menjadi malam terakhir di negeri tetangga.
***
Aku terbaring di kamar kuning berukuran
tiga kali tiga. Badanku terasa pegal setelah terbang dari negeri Harimau Malaya
menuju ranting sang Garuda. Ingin rasanya kulangsung memejamkan mataku.
Mengobati rasa lelahku. Tetapi ada rasa tak percaya akan kehadiranku kembali di
Indonesia (Samata Island, tetapi bukan KW2nya Sentosa Island). Tak percaya
telah melakukan perjalanan yang sempat dipandang sebelah mata oleh segelentir
kaum.
“But finally we did it. We did it.”
Kalimat itu yang selalu kami serukan di
detik-detik terakhir perjalanan pulang. Seakan masih terhipnotis oleh pertunjukan
Songs of The Sea yang bersorak ria dengan kalimat tersebut.
Perjalanan yang tak mulus itu
mengajarkanku akan banyak hal. Melaluinya aku merasakan tidak ada yang lebih
aman dan menakjubkan dibanding negaraku sendiri. I felt that the night in the other countries were most beautiful but
the night in my country was most pleasant.
Melalui perjalanan itu juga, aku mampu
menyaksikan indahnya warna kontras saat mereka disatukan. Hitam pekat dan
pantulan cahaya akan terlihat memesona dalam indahnya malam. Hitam dan putih
akan terasa nikmat dalam secangkir kopi susu dan A.G 1, 2, 3, 4, 5 dan 6
terlihat lebih menakjubkan dalam satu nama BSI angkatan 2011.
_AA_
_AA_
Komentar
Posting Komentar