The Secret of Toilet

 Clakkk.... Clakkkk ... clakkk
Tetesan air keran yang tidak tertutup rapat itu semakin menerorku yang hingga tengah malam ini sukar untuk tertidur. Ku lirik bundaran putih di dinding yang terhalang remang-remang malam.

“Huff... mana baru jam sebelas empat lima lagi,” bisikku pelan.

Entah sudah berapa kali aku membolak-balikkan bantal usang yang hampir tidak tersentuh sabun selama aku pindah ke kosan Bu Alina. Maklum aku seorang mahasiswi semester lima yang merangkap menjadi pelayan di sebuah restauran siap saji.

Sebelumnya aku tinggal di kosan Bu Diana, tetapi karena terbelit hutang kanan kiri, ya dengan terpaksa aku kabur. Padahal malam itu Ka’ Danar, putra bungsu Bu Diana bersikeras menghalangi kepergianku. Aku harus pergi dari pada tiap hari kena omel Bu Diana. Belum lagi cibiran pedas dari penghuni kos lain tentang hutangku yang belum aku bayar.

Berbekal uang tiga ratus ribu rupiah, hasil penjualan ponsel lamaku. Aku memberanikan diri untuk tinggal di kosan baru dengan menjajikan upahku sebagai pelayan restoran.

“Akhir bulan nanti akan saya lunasi bu.” Bujukku kepada bu Alina saat dia menolak rencanaku tinggal di kosannya.

“Bukan karena kondisi keuanganmu dek Mayang, tetapi memang kamar kos disini sudah penuh.” Sahutnya lembut.

Ya memang benar, aku lihat rumah besar yang terdiri dari lima kamar di lantai satu telah penuh sesak diisi oleh sembilan orang penghuni kos dan satu asisten pribadi bu Alina.

Tetapi dengan berbagai pertimbangan, akhirnya beliau menyerahkan kamar putri semata wayangnya yang tengah mengenyam pendidikan di Jepang kepadaku.

“Haduh betapa beruntungnya diriku ini.” Pikirku sesaat setelah bu Alina mengesahkan kamar kebanggaan putrinya kepadaku. Betapa tidak kamar ini begitu luas dan satu-satunya kamar yang memiliki toilet sendiri. Apalagi bu Alina dengan cuma-cuma meminjamkan kasur dan meja rias milik putrinya. Hanya saja dia tidak membolehkan aku menggunakan lemari besar di kamar itu, mungkin karena lemari itu telah diisi penuh oleh barang-barang milik putrinya.

Tetapi untung saja di meja rias menempel sebuah lemari kecil yang masih bisa aku gunakan untuk menyimpan pakaianku dan sebagian lagi bisa aku gantung di gantungan di belakang pintu.

Kembali kulihat jam, kali ini tepat pukul dua belas malam dan
aku masih terjaga. Tiba-tiba “Wwhusssssssssssssssshhhhhh......” sekebar angin kencang masuk kerongga kamarku, menyisahkan sosok putih yang melambai-lambai di depanku. Seketika aku terkejut, “Sial aku hampir saja membiarkan jendela terbuka semalaman.” Gerutuku sambil menutup jendela dan membenarkan tirai putih yang tersapu angin.

Aku kembali merebahkan tubuh mungilku di kasurbesar nan empuk ini. Pelan tapi pasti mata ini mulai menutup.

Byuuuuuuuurrrrrrrrr..... Suara guyuran air mengagetkanku.

“Jam segini siapa yang mandi sih? Ganggu orang saja!” Gerutuku kesal

Otakku mulai berpikir wara “Tetapi asal suaranya dari. . . .” Entah mengapa bibirku benar-benar tertahan. Kulirik pintu toilet, dan benar saja dari lubang kunci pintu toilet sesosok wanita berambut panjang tengah tertunduk kaku di bawah cipratan air shower.

“Apa mungkin dia putrinya bu Alin?” Pikirku membuyarkan rasa takutku sendiri.

Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera beranjak pergi. Namun, baru beberapa langkah menuju tempat tidur, suara tangisan memaksaku untuk kembali.

“Kenapa Kak? Kakak tidak kenapa-napakan?” tanyaku sedikit gugup.

Dia tak kunjung menjawab pertanyaanku, malah tangisannya semakin menjadi.

“Hiksss... hiksss... tolong aku”

Suara tangisan itu menggema mendominasi kamarku. Aku benar-benar panik. Sekuat tenaga kucoba rubuhkan pintu berbahan plastik itu, dan hasilnya nihil. Tangisannya pelan-pelan meredub. Kulihat kembali dari lubang kunci, dan betapa kagetnya aku saat melihat tubuh wanita misterius itu kini tak utuh lagi. Berdiri lesu sesosok tubuh tanpa kepala, lehernya dipenuhi daging yang berantakan dan cipratan darah segar menodai dinding-dinding toilet.

Tubuhku benar-benar terasa bergetar dan tak bisa mengatkan apa-apa. Saat kualihkan mataku ke arah lantai toilet, tergeletak sebuah kepala berambut panjang bersama sebilah gergaji di sampingnya. Aku semakin berguncang hebat. Entah apa yang aku pikirkan saat itu. Rasanya aku ingin berlari ke kamar penghuni lain untuk meminta bantuan. Tapi aku sama sekali tak bisa bergerak, piyamaku terjepit engsel pintu.

“Haaaaaaaa.......... tolong!” Aku berteriak sekencang-kencangnya. Dengan tergesa-gesa kugigit piyamaku. Dan sseeet, bagian belakang piyamaku berhasil robek. Aku berlari sekencang-kencangnya memburu pintu keluar kamar.

“Arrgght... kenapa gak bisa dibuka? Aku semakin panik.
Segera kuambil posisi kuda-kuda dan Bruukkk tendanganku merobohkan sebilah pintu yang terbuat dari kayu.

Nafasku terasa sesak mencium bau anyir darah yang menusuk ke paru-paru. Tapi aku semakin menggila dan ketakutanku semakin menjadi saat kulihat pemandangan aneh dari balik pintu kamarku.

“Toilet?” tanyaku bingung. Ternyata toilet yang sama, hanya saja yang membedakan tinggal kepala yang tergeletak di lantai.

Kepala berambut panjang itu pelan-pelan menoleh dan menyeringai kepadaku.

“Haaaaaaaaaaaaaa!” teriakku.
***
Seseorang mebuka pintu kamarku, dia menyeringai hangat mendekatiku.

“Rupanya kamu demam ya May?” sahut bu Alina sambil menempelkan punduk tangannya di keningku.

“Syukurlah ternyata Cuma mimpi,” bisikku pelan.

The End

 _AA_
(14 Jan 2014)
*Fiction

Komentar